Dari Astri Di Depok
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Pendengar Nurani yang baik
Ini adalah sekelumit kisah pedihku yang hingga saat ini masih sangat membuat aku sesak, sesak karena tak tahu lagi harus berbuat apa, perjalanan hidup yang penuh bahagia bersama keluarga kecilku ternyata harus berakhir pilu saat hidayah menyapa diriku.
Al-kisah, aku adalah seorang istri dari seorang pria yang telah menikahiku 2 tahun silam “Mas Bram” namanya, dan aku juga adalah seorang ibu dari seorang bayi mungil yang baru berusia 11 bulan, Ramadhan namanya, dia terlahir kedunia fana ini bulan ramadhan tahun lalu, dan usianya baru masuk setahun saat ramadhan tahun ini. Jujur, aku dan mas bram menikah karena sebelumnya telah melewati masa pacaran bertahun-tahun lamanya, mas bram adalah seniorku dikampus dulu, kami sama-sama mengambil jurusan Perbankan disebuah Universitas terkenal di bandung, seperti pasangan yang belum tersentuh hidayah pada umumnya, kami melewati masa-masa indah itu sejak aku menjadi mahasiswi baru di kampus itu dan mas bram menjadi panitia Ospeknya, begitulah..segalanya berlangsung begitu cepat hingga mas bram menamatkan kuliahnya dan akhirnya diterima sebagai salah satu karyawan di perusahaan swasta di Depok, dan karena merasa sudah mapan, mas bram mempersunting aku menjadi istrinya, aku yang saat itu sudah memasuki semester akhir dengan bahagianya menerima lamaran mas bram kekasih hatiku untuk membina mahligai rumah tangga bersamanya…
Pendengar Nurani yang budiman..
Masa-masa indah kami lewati bersama pasca pernikahan itu, bahkan aku merasa bahwa akulah wanita yang paling berbahagia saat itu, sebab tidak hanya materi yang diberikannya padaku, tetapi cinta dan kasih sayangnyapun seolah tak pernah mengering untukku, mas bram tak pernah mengeluh apapun padaku, bahkan aku yang jarang dirumah karena sibuk dengan tugas-tugas kuliah tak pernah sedikitpun di keluhkannya, kadang dia terpaksa harus memasak sendiri dan menyiapkan pakaiannya sendiri saat aku dilihatnya letih dengan setumpuk tugas-tugas kampusku, entahlah, aku sendiri bingung dengan diriku, apakah memang aku benar-benar letih sehingga tak sempat melayani mas bram atau disebabkan kemalasan dan keenggananku melayaninya karena terbiasa dimanjanya, saat itu aku tak bias mendeteksi perasaanku, yang aku tahu bahwa sebenarnya meskipun letih, aku masih bias sedikit bergerak untuk sekedar menyiapkan makanan atau pakaiannya tapi itu hampir tak pernah aku lakukan,
aku terlena dengan cintanya yang begitu besar padaku, dia bahkan begitu menjaga perasaanku agar tidak tersinggung, sehingga melihat wajahku cemberut sedikit saja, dia selalu lebih awal meminta maaf karena khawatir apabila ada sikapnya yang melukai atau menyinggung perasaanku, begitulah kebahagiaan yang kami rasakan berasama saat itu, namun akhirnya segalanya harus berakhir juga,
semua berawal ketika mas bram melihat ada perubahan dalam diriku, aku yang sehari-harinya selalu tampil dengan penampilan layaknya wanita-wanita biasa pada umumnya, tak berbusana muslimah apalagi jilbab, entah mengapa, mas bram begitu menyukaiku bila tak mengenakan busana muslimah, perubahan itu terjadi karena sentuhan hidayah yang diberikan oleh Allah kepadaku melalui tangan seorang muslimah dikampusku yang juga teman sekelasku di fakultas, “Asma” namanya, dia seorang aktifis dakwah disebuah Ormas Islam yang ada dikampusku, kalau tak salah ingat Asma adalah seorang Murobbi yang memegang banyak Halaqah dikampus, entah karena termotifasi oleh apa, sejak dari Maba dulu hingga memasuki semester akhir, asma selalu mendekatiku dengan dakwahnya, tak pernah sedikitpun dia bergeming untuk melepaskanku dari prospek dakwahnya, kelembutan akhlaknya dan kegigihannya tak pelak menjadikan hampir 75% mahasiswi dikelas bertekuk lutut dengan dakwahnya dan menjadi muslimah-muslimah yang taat pula,
mungkin akulah satu dianatara 5 mahasiswi lainnya yang terlambat menerima dakwahnya, karena aku pribadi terlanjur menikmati hidup ini dengan banyak berleha-leha dengan kesenangan yang semu, sesungguhnya setelah hidayah itu menyapaku, rasanya aku ingin menangis karena terlambat menginsafi segala masa yg telah aku lewati dan terlambat menjadi seorang muslimah yang insya Allah taat, namun dengan lembutnya Asma selalu membesarkan hatiku, menguatkan jiwaku dengan kata-katanya yang tak pernah lekang dari benakku : “ukhtiku, tak ada kata terlambat untuk berubah, anti harus bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk menjadi orang baik sebelum ajal menjemput, siapa tahu siapa tahu dengan kesungguhan anti dalam mempelajari agama Allah ini, akan menjadikan anti menjadi muslimah yang lebih baik dalam pandangan Allah ketimbang ana atau muslimah-muslimah lain yang lebih dulu mengenal dakwah.., ana akan selalu berdoa untuk anti, semoga anti dan kita semua termasuk wanita-wanita muslimah diseluruh dunia yang telah tersenuth oleh hidayah Allah, semoga akan selalu Istiqamah selamanya, amin..”, begitulah nasihat-nasihat asma padaku, dan itu tidak hanya diperlakukan padaku saja, tetapi pada setiap wanita-wanita muslimah yang dijumpainya, Subhanallah sungguh luar biasa perhatiannya pada Agama ini hingga diusianya yang sudah memasuki kepala 3 asma masih belum dipertemukan dengan seorang ikhwah yang bersedia menghitbahnya, pernah aku bertanya padanya “afwan ukhti, bukan bermaksud membuat anti tersinggung, tapi ana ingin sekali bertanya pada anti, apakah kesendirian anti hingga saat ini karena belum ada ikhwah yang dating menghitbah anti atau afwan apa anti memiliki target terhadap ikhwah yang akan menjadi pendamping hidup anti kelak?” begitulah.., dengan penasarannya aku mengungkapkan pertanyaan itu pada asma tanpa bermaksud menyinggung perasaannya, namun alangkah takjubnya aku ketika asma berujar member jawaban atas pertanyaanku itu “ukhti, ana ini manusia biasa, yang mungkin sangat rendah dihadapan Allah, maka apakah pantas bila ada ikhwah pilihan Allah yang datang pada ana lalu ana menolaknya ?, tentu sangat tidak pantas, jujur ukhti, ana tidak pernah memiliki impian apapun tentang lelaki yang akan mendampingi ana, selama akhlaqnya bagus dan bias menjadi imam bagi ana dan anak-anak ana, kenpa tidak..?, tapi sungguh.., hingga saat ini belum ada satupun ikhwah yang datang pada ana , tapi insya Allah semua itu tidak akan melunturkan semangat ana dalam mengemban amanah dakwah ini, ana tidak ingin seperti akhwat-akhwat lainnya yang entah berapa jumlah mereka yang akhirnya future karena khawatir tak mendapatkan pasangan hidup, khawatir karena usianya tidak muda lagi sementara tidak ada satupun ikhwah yang dating menghitbah mereka, insya Allah dan doakan ana ukhti semoga tidak menjadi bagian dari mereka-mereka yang telah luntur semangat dakwahnya hanya karena sebuah kekhwatiran dunia semata…” itulah jawaban asma atas pertanyaanku, dan jawabannya itu sedikit membuat aku malu karena telah mempertanyakan hal yang prinsip dalam hidupnya.
Pendengar Nurani yang budiman
Begitulah…, aku akhirnya menjadi mutarobbinya Asma dan darinya aku banyak belajar tentang dakwah islamiyah, dari Allah melalui lisannya pula hatiku terketuk yang membuatku akhirnya berhijab, mulai menggunakan Busana Muslimah yang syar’I meskipun belum serta merta bercadar, dalam hati yang paling dalam kubulatkan tekadku untuk menjadi muslimah yang taat dan berharap agar mas bram ridho dengan semua itu…tapi ..ternyata aku salah…aku telah salah beranggapan…, karena ternyata mas bram tidak ridho dengan perubahan yang ada pada diriku. Betapa tidak, semenjak aku mulai mengenakan busana muslimah yang syar’I itu pertengkaran demi pertengkaranpun sering terjadi, sebenarnya aku sendiri sudah mengungkapkan niatku dan meminta izin padanya untuk berhijab, tapi permintaanku itu selalu ditolaknya dengan berbagai alassan yang kurang masuk akal, mas bram tidak menyepakati sikapku yang ingin berhijab itu karena dia ingin semua tahu bahwa istrinya mempesona dll yang memang menurutku seperti sebuah pujian diatas bara api neraka, mas bram juga menyampaikan alas an dia menikahiku karena dimatanya wajahku lebih dari bekas-bekas pacaranya sebelumnya, Ya Allah…aku sendiri sejujurnya tak ingin meladeninya disetiap percakapan diantara kami terjadi, tapi pertengkaranpun tak bias dielakkan kala aku mendengarkan jawaban-jawaban yang sangat memuakkan itu, hatiku sakit tak kala mas bram menyampaikan bahwa dia menikahiku hanya karena fisikku semata, sehingga aku sendiri bahkan tak diizinkannya berhijab agar bisa senantiasa ditatapnya kapan saja dan dimana saja, hatiku miris, aku selalu berusaha menyampaikan alasan-alasan mengapa aku berhijab, dan aku menyampaikannya dengan bijak..
tapi mas bram tak pernah mau memahami aku, bahkan aku yang tengah mengandung 8 bulan anak kami saat itupun tak diperdulikannya, mas bram mengancam akan menceraikan aku bila aku meneruskan niatku berhijab dengan busana muslimah yang sayr’I itu, kurasakan langit seolah mau runtuh, dadaku sesak, dan tulang-tulangku kurasakan seolah tak nyambung lagi, aku sedih saat kata ancaman cerai keluar dari bibirnya bila mendapati aku meneruskan niatku berhijab, Ya Allah, haruskah aku batalkan niatku ini agar aku tidak dicerai oleh suamiku..?, apa jadinya nanti bila anakku terlahir tanpa seorang ayah, bagaimana aku bias meneruskan kehidupanku dan anakku nanti padahal aku sepenuhnya bersandar pada suamiku sebagai penopang hidup keluarga?, apakah aku durhaka bila aku mengabaikan perintah suamiku demi menegakkan syari’at ini?, atau berdosakah pula aku bila mengabaikan syari’at ini demi menyenangkan suamiku..?,
hatiku bimbang saat itu.., aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa.., aku mencoba menceritakan kisah piluku ini pada Asma, beliau menganjurkan aku untuk senantiasa mendekatkan diri pada Allah dan memohon petunjuk dan jalan keluar dari masalah itu, sebab katanya ketika tidak ada lagi pertolongan dari manusia, maka yakinlah akan ada pertolongan dari Allah ,
asma juga menganjurkan aku untuk tetap memperlakukan suamiku dengan baik, dan melakukan pendekatan-pendekatan dengan bahasa hati, agar hatinya mas bram suatu saat akan luluh dan ridho atas niatku yang ingin berhijab, dengan bekal nasehat dari sang murobbiku itu, akupun berusaha melakukan apa yg disampaikan oleh Asma, aku berusaha mengurangi kegiatanku diluar agar bias selalu memberikan pelayanan yang baik pada suamiku, dengan harapan agar hatinya luluh dan mengijinkan aku berhijab,
waktu terus bergulir hingga tibalah bulan suci ramdhan 1431 H dan kebahagiaan yang luar biasa kurasakan pada bulan itu, sebab pada bulan itu juga buah hati kami terlahir kedunia ini, aku sangat berharap dengan lahirnya anak kami, mas bram akan lebih mudah untuk kubujuk agar mengizinkan aku berhijab, disetiap waktu senggang dan santainya, aku selalu mencari celah untuk merayunya agar memberikan aku kebebasan untuk segera berbusana muslimah, tapi ternyata jawabannya sama.
Pendengar Nurani yang budiman
Hatiku sangat sedih sekali menyadari semua ini, mengapa begitu sulitnya mewujudkan sebuah niat yang baik, bathinku selalu bergumam, seharusnya mas bram merasa bahagia dan menanggapi positif atas niatku ini, tapi yang terjadi malah sebaliknya, mas bram seolah murka dengan apa yang aku lakukan, hingga suatu malam, pertengkaran hebatpun terjadi, aku yang tak bias lagi menerima sikap dan prilaku mas bram malam itu memberontak dengan segala galau dihatiku. “Mas bram, toloong beri aku kebebasan untuk berhijab mas, aku ingin seperti wanita-wanita muslimah yang lain, yang setiap saat mereka bias dengan bebasnya mengenakan busana muslimah tanpa ada interfensi dari siapapun, tapi mengapa mas begitu marahnya bila aku melakukan hal yang sama seperti mereka, aku hanya ingin auratku tidak terbuka seperti dulu mas, aku hanya ingin agar auratku hanya bias dilihat oleh mahromku saja.., mas bram..aku tidak sedang meminta dibelikan rumah mewah atau perhiasan mahal yang mungkin saja mas bram pantas marah dan murkah dengan semua itu,
aku hanya meminta izin pada mas untuk memakai busana muslimah yang syar’i..itu saja, tidak lebih mas..” ujarku memelas pada mas bram “ cukup astri..!, aku muak dengan ocehanmu itu..settiap hari itu-itu saja yang selalu kau ngocehin, apa gak ada permintaan lain..?, bagi aku, masih lebih baik kau meminta rumah mewah atau perhiasan yang mahal ketimbang permintaan yang konyol itu, kamu sadar nggak..?, atau kau pura-pura lupa, aku itu menikahimu karena kecantikanmu, dan aku ingin agar kau tidak mempermalukan aku dihadapan relasiku yang rata-rata istri-istri mereka berpenampilan wah, mau taru dimana mukaku astir bila ada undangan-undangan resmi nanti aku harus dating bersamamu dengan pakaian seperti itu, itu konyool astir..konyol, apa kata teman-temanku nanti bila melihatmu seperti itu..?, mereka pasti akan menertawakamu astir, dan mereka pasti akan mencomooh aku..kamu sadar gak..?, selama ini disetiap acara-acara besar kantor semua teman-temanku memuji kecantikanmu, bahkan istri-istri mereka sering merasa iri dengan pesona yang kau miliki astri, nah sekarang kalau kau berbusana muslimah hitam dan panjang begitu mau ditaruh dimana mukaku astri…” sela mas bram dengan wajah geram seolah ingin menelanku hidup-hidup. Saat itu air mataku mengalir deras dipipiku, aku tak menyangka sama sekali kalau selama ini mas bram hanya memanfaatkan aku seperti sebuah barang yang bias kapan saja dipajang kemudian dipuji oleh orang yang memandangnya, aku juga bahkan tak menyangka kalau selama ini mas bram ternyata hanya mencintaiku secara lahiria saja.
“mas bram…aku tidak menyangka mas.., aku tidak menyangka kalau selama ini mas hanya menganggap aku sebagai sebuah barang yang mas bias bawa kemana saja agar orang-orang bias leluasa menikmati kecantikanku dan mas mendapat hujanan pujian dari semua itu, aku ini manusia mas, aku ini istrimu..?, bila hari ini kau hanya mencintaiku karena wajahku yang kau pandang cantik, lalu bagaimana bila wajah ini akan mengerut karena usia mas..?, apa mas juga akan berpaling dariku..?, apakah mas juga akan meninggalkanku..?, mas insaf mas.., insaf.., aku ini istrimu mas..aku ini istrimu, tolong beri aku kebeasan untuk memilih jalan hidupku sendiri, aku hanya ingin menjadi muslimah sejati mas…” ujarku kembali sambil memelas.
“hahh..!!!, masa bodo astri..!, pokoknya aku tidak mau tahu, aku tetap tiudak mengizinkanmu menggunakan busana kampungan itu, titik, kalau kau masih membantahku, itu artinya kita tidak cocok lagi…!, dan kalau kita tidak cocok lagi itu artinya kita pisah..dan silahkan kau memilih jalan hidupmu sendiri, yang jelas aku tidak mau punya istri kampungan..” tutur mas bram memberiku pilihan, air mataku semakin tak terbendung, kutatap wajah bayiku yang terlelap tidur diatas ranjang, kasihan dia, dia masih kecil , tapi telinganya sudah harus mendengar pertengkaran ini.
“mas..apa kau serius dengan ucapanmu itu..?, segitu kotornyakah dalam pandanganmu muslimah yang bermusana seperti itu sehingga kau begitu marahnya bila aku mengenakannya dan menjadi seperti mereka..?, nyebut mas, ingat..jangan memperbesar-besar masalah ini mas, aku ini hanya meminta izin untuk mengenakan busana muslimah mas, kenapa mas seolah menganggap ini adalah masalah besar dan tidak bias ditolelir lagi..?, ingat mas..kita punya anak yang masih kecil, masih bayi mas.., bagaimana masa depannya bila ternuyata ibu-bapaknya harus berpisah…, mas, kita ini muslim, dan menutup aurat bagi wanita itu kewajiban mas, harus dan tidak bias ditolak dengan alas an apapun..!”ujarku sambil menangis deras
“oooww…jadi kau lebih memilih mengenakan busana itu dari pada menuruti perintahku?, begitu..?, eh astri..kau juga tidak boleh lupa taat pada suami itu juga wajib hukumnya..jangan kau abaikan itu..” jawab mas bram
“astagfirullah mas…aku tahu itu dan aku sangat sadar kewajibanku sebagai istri yang harus taat pada suami mas, tapi mas harus ingat bahwa tidak ada ketaatan apabila kita dipaksa untuk mendurhakai Allah..tidak ada ketaatan seperti itu mas…” ujarku lagi ditengah linangan air mataku yang semakin deras
“oww..ow..ow.., jadi kau ingin membantahku..?, begitu astri.., baik..!, kalau itu maumu, malam ini juga kau kutalak tiga astri..kau kucerai…!!!, kita pisah astri…kita pisah..!!!” sela mas bram dengan wajah merah padam dan pergi meninggalakan aku yang masih terus berlinang air mata dengan memaku disudut ranjang sambil mendekap anakku yang tertidur pulas…aku tidak menyangka kalau ternyata akhir perjalan rumah tanggaku seperti ini…begitu mahalkah harga dari sebuah hidayah hingga harus ditebus dengan perceraian seperti ini..?, ya Allah..kuatkan hatiku…tabahkan aku dalam menjalani semua ini, aku pasrahkan segalanya pada-Mu ya Allah, aku sendiri tidak tahu apakah langkahku ini salah, tapi bila itu salah ya Allah..ampuni aku dan suamiku..aku ihlas menerima semua ini..
Pendengar Nurani yang budiman
Hingga hari ini, aku telah hidup sendiri, aku kembali kerumah orang tuaku ditasikmalaya, aku berusaha membesarkan anakku dengan jerih payahku sendiri, aku memanfaatkan ketrampilan menjahitku dengan menerima orderan jahitan dari tetangga-tetangga, aku yakin Allah pasti akan menolongku. Ternyata benar..hidayah itu mahal.., sangat mahaall..untuk itu..aku menasehatkan pada diriku sendir i dan pada pendengar sekalian, bila kita telah memperoleh hidayah itu..jagalah dia..jangan biarkan hidayah itu pergi berlalu meninggalkan kita.
Wassalam
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Pendengar Nurani yang baik
Ini adalah sekelumit kisah pedihku yang hingga saat ini masih sangat membuat aku sesak, sesak karena tak tahu lagi harus berbuat apa, perjalanan hidup yang penuh bahagia bersama keluarga kecilku ternyata harus berakhir pilu saat hidayah menyapa diriku.
Al-kisah, aku adalah seorang istri dari seorang pria yang telah menikahiku 2 tahun silam “Mas Bram” namanya, dan aku juga adalah seorang ibu dari seorang bayi mungil yang baru berusia 11 bulan, Ramadhan namanya, dia terlahir kedunia fana ini bulan ramadhan tahun lalu, dan usianya baru masuk setahun saat ramadhan tahun ini. Jujur, aku dan mas bram menikah karena sebelumnya telah melewati masa pacaran bertahun-tahun lamanya, mas bram adalah seniorku dikampus dulu, kami sama-sama mengambil jurusan Perbankan disebuah Universitas terkenal di bandung, seperti pasangan yang belum tersentuh hidayah pada umumnya, kami melewati masa-masa indah itu sejak aku menjadi mahasiswi baru di kampus itu dan mas bram menjadi panitia Ospeknya, begitulah..segalanya berlangsung begitu cepat hingga mas bram menamatkan kuliahnya dan akhirnya diterima sebagai salah satu karyawan di perusahaan swasta di Depok, dan karena merasa sudah mapan, mas bram mempersunting aku menjadi istrinya, aku yang saat itu sudah memasuki semester akhir dengan bahagianya menerima lamaran mas bram kekasih hatiku untuk membina mahligai rumah tangga bersamanya…
Pendengar Nurani yang budiman..
Masa-masa indah kami lewati bersama pasca pernikahan itu, bahkan aku merasa bahwa akulah wanita yang paling berbahagia saat itu, sebab tidak hanya materi yang diberikannya padaku, tetapi cinta dan kasih sayangnyapun seolah tak pernah mengering untukku, mas bram tak pernah mengeluh apapun padaku, bahkan aku yang jarang dirumah karena sibuk dengan tugas-tugas kuliah tak pernah sedikitpun di keluhkannya, kadang dia terpaksa harus memasak sendiri dan menyiapkan pakaiannya sendiri saat aku dilihatnya letih dengan setumpuk tugas-tugas kampusku, entahlah, aku sendiri bingung dengan diriku, apakah memang aku benar-benar letih sehingga tak sempat melayani mas bram atau disebabkan kemalasan dan keenggananku melayaninya karena terbiasa dimanjanya, saat itu aku tak bias mendeteksi perasaanku, yang aku tahu bahwa sebenarnya meskipun letih, aku masih bias sedikit bergerak untuk sekedar menyiapkan makanan atau pakaiannya tapi itu hampir tak pernah aku lakukan,
aku terlena dengan cintanya yang begitu besar padaku, dia bahkan begitu menjaga perasaanku agar tidak tersinggung, sehingga melihat wajahku cemberut sedikit saja, dia selalu lebih awal meminta maaf karena khawatir apabila ada sikapnya yang melukai atau menyinggung perasaanku, begitulah kebahagiaan yang kami rasakan berasama saat itu, namun akhirnya segalanya harus berakhir juga,
semua berawal ketika mas bram melihat ada perubahan dalam diriku, aku yang sehari-harinya selalu tampil dengan penampilan layaknya wanita-wanita biasa pada umumnya, tak berbusana muslimah apalagi jilbab, entah mengapa, mas bram begitu menyukaiku bila tak mengenakan busana muslimah, perubahan itu terjadi karena sentuhan hidayah yang diberikan oleh Allah kepadaku melalui tangan seorang muslimah dikampusku yang juga teman sekelasku di fakultas, “Asma” namanya, dia seorang aktifis dakwah disebuah Ormas Islam yang ada dikampusku, kalau tak salah ingat Asma adalah seorang Murobbi yang memegang banyak Halaqah dikampus, entah karena termotifasi oleh apa, sejak dari Maba dulu hingga memasuki semester akhir, asma selalu mendekatiku dengan dakwahnya, tak pernah sedikitpun dia bergeming untuk melepaskanku dari prospek dakwahnya, kelembutan akhlaknya dan kegigihannya tak pelak menjadikan hampir 75% mahasiswi dikelas bertekuk lutut dengan dakwahnya dan menjadi muslimah-muslimah yang taat pula,
mungkin akulah satu dianatara 5 mahasiswi lainnya yang terlambat menerima dakwahnya, karena aku pribadi terlanjur menikmati hidup ini dengan banyak berleha-leha dengan kesenangan yang semu, sesungguhnya setelah hidayah itu menyapaku, rasanya aku ingin menangis karena terlambat menginsafi segala masa yg telah aku lewati dan terlambat menjadi seorang muslimah yang insya Allah taat, namun dengan lembutnya Asma selalu membesarkan hatiku, menguatkan jiwaku dengan kata-katanya yang tak pernah lekang dari benakku : “ukhtiku, tak ada kata terlambat untuk berubah, anti harus bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk menjadi orang baik sebelum ajal menjemput, siapa tahu siapa tahu dengan kesungguhan anti dalam mempelajari agama Allah ini, akan menjadikan anti menjadi muslimah yang lebih baik dalam pandangan Allah ketimbang ana atau muslimah-muslimah lain yang lebih dulu mengenal dakwah.., ana akan selalu berdoa untuk anti, semoga anti dan kita semua termasuk wanita-wanita muslimah diseluruh dunia yang telah tersenuth oleh hidayah Allah, semoga akan selalu Istiqamah selamanya, amin..”, begitulah nasihat-nasihat asma padaku, dan itu tidak hanya diperlakukan padaku saja, tetapi pada setiap wanita-wanita muslimah yang dijumpainya, Subhanallah sungguh luar biasa perhatiannya pada Agama ini hingga diusianya yang sudah memasuki kepala 3 asma masih belum dipertemukan dengan seorang ikhwah yang bersedia menghitbahnya, pernah aku bertanya padanya “afwan ukhti, bukan bermaksud membuat anti tersinggung, tapi ana ingin sekali bertanya pada anti, apakah kesendirian anti hingga saat ini karena belum ada ikhwah yang dating menghitbah anti atau afwan apa anti memiliki target terhadap ikhwah yang akan menjadi pendamping hidup anti kelak?” begitulah.., dengan penasarannya aku mengungkapkan pertanyaan itu pada asma tanpa bermaksud menyinggung perasaannya, namun alangkah takjubnya aku ketika asma berujar member jawaban atas pertanyaanku itu “ukhti, ana ini manusia biasa, yang mungkin sangat rendah dihadapan Allah, maka apakah pantas bila ada ikhwah pilihan Allah yang datang pada ana lalu ana menolaknya ?, tentu sangat tidak pantas, jujur ukhti, ana tidak pernah memiliki impian apapun tentang lelaki yang akan mendampingi ana, selama akhlaqnya bagus dan bias menjadi imam bagi ana dan anak-anak ana, kenpa tidak..?, tapi sungguh.., hingga saat ini belum ada satupun ikhwah yang datang pada ana , tapi insya Allah semua itu tidak akan melunturkan semangat ana dalam mengemban amanah dakwah ini, ana tidak ingin seperti akhwat-akhwat lainnya yang entah berapa jumlah mereka yang akhirnya future karena khawatir tak mendapatkan pasangan hidup, khawatir karena usianya tidak muda lagi sementara tidak ada satupun ikhwah yang dating menghitbah mereka, insya Allah dan doakan ana ukhti semoga tidak menjadi bagian dari mereka-mereka yang telah luntur semangat dakwahnya hanya karena sebuah kekhwatiran dunia semata…” itulah jawaban asma atas pertanyaanku, dan jawabannya itu sedikit membuat aku malu karena telah mempertanyakan hal yang prinsip dalam hidupnya.
Pendengar Nurani yang budiman
Begitulah…, aku akhirnya menjadi mutarobbinya Asma dan darinya aku banyak belajar tentang dakwah islamiyah, dari Allah melalui lisannya pula hatiku terketuk yang membuatku akhirnya berhijab, mulai menggunakan Busana Muslimah yang syar’I meskipun belum serta merta bercadar, dalam hati yang paling dalam kubulatkan tekadku untuk menjadi muslimah yang taat dan berharap agar mas bram ridho dengan semua itu…tapi ..ternyata aku salah…aku telah salah beranggapan…, karena ternyata mas bram tidak ridho dengan perubahan yang ada pada diriku. Betapa tidak, semenjak aku mulai mengenakan busana muslimah yang syar’I itu pertengkaran demi pertengkaranpun sering terjadi, sebenarnya aku sendiri sudah mengungkapkan niatku dan meminta izin padanya untuk berhijab, tapi permintaanku itu selalu ditolaknya dengan berbagai alassan yang kurang masuk akal, mas bram tidak menyepakati sikapku yang ingin berhijab itu karena dia ingin semua tahu bahwa istrinya mempesona dll yang memang menurutku seperti sebuah pujian diatas bara api neraka, mas bram juga menyampaikan alas an dia menikahiku karena dimatanya wajahku lebih dari bekas-bekas pacaranya sebelumnya, Ya Allah…aku sendiri sejujurnya tak ingin meladeninya disetiap percakapan diantara kami terjadi, tapi pertengkaranpun tak bias dielakkan kala aku mendengarkan jawaban-jawaban yang sangat memuakkan itu, hatiku sakit tak kala mas bram menyampaikan bahwa dia menikahiku hanya karena fisikku semata, sehingga aku sendiri bahkan tak diizinkannya berhijab agar bisa senantiasa ditatapnya kapan saja dan dimana saja, hatiku miris, aku selalu berusaha menyampaikan alasan-alasan mengapa aku berhijab, dan aku menyampaikannya dengan bijak..
tapi mas bram tak pernah mau memahami aku, bahkan aku yang tengah mengandung 8 bulan anak kami saat itupun tak diperdulikannya, mas bram mengancam akan menceraikan aku bila aku meneruskan niatku berhijab dengan busana muslimah yang sayr’I itu, kurasakan langit seolah mau runtuh, dadaku sesak, dan tulang-tulangku kurasakan seolah tak nyambung lagi, aku sedih saat kata ancaman cerai keluar dari bibirnya bila mendapati aku meneruskan niatku berhijab, Ya Allah, haruskah aku batalkan niatku ini agar aku tidak dicerai oleh suamiku..?, apa jadinya nanti bila anakku terlahir tanpa seorang ayah, bagaimana aku bias meneruskan kehidupanku dan anakku nanti padahal aku sepenuhnya bersandar pada suamiku sebagai penopang hidup keluarga?, apakah aku durhaka bila aku mengabaikan perintah suamiku demi menegakkan syari’at ini?, atau berdosakah pula aku bila mengabaikan syari’at ini demi menyenangkan suamiku..?,
hatiku bimbang saat itu.., aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa.., aku mencoba menceritakan kisah piluku ini pada Asma, beliau menganjurkan aku untuk senantiasa mendekatkan diri pada Allah dan memohon petunjuk dan jalan keluar dari masalah itu, sebab katanya ketika tidak ada lagi pertolongan dari manusia, maka yakinlah akan ada pertolongan dari Allah ,
asma juga menganjurkan aku untuk tetap memperlakukan suamiku dengan baik, dan melakukan pendekatan-pendekatan dengan bahasa hati, agar hatinya mas bram suatu saat akan luluh dan ridho atas niatku yang ingin berhijab, dengan bekal nasehat dari sang murobbiku itu, akupun berusaha melakukan apa yg disampaikan oleh Asma, aku berusaha mengurangi kegiatanku diluar agar bias selalu memberikan pelayanan yang baik pada suamiku, dengan harapan agar hatinya luluh dan mengijinkan aku berhijab,
waktu terus bergulir hingga tibalah bulan suci ramdhan 1431 H dan kebahagiaan yang luar biasa kurasakan pada bulan itu, sebab pada bulan itu juga buah hati kami terlahir kedunia ini, aku sangat berharap dengan lahirnya anak kami, mas bram akan lebih mudah untuk kubujuk agar mengizinkan aku berhijab, disetiap waktu senggang dan santainya, aku selalu mencari celah untuk merayunya agar memberikan aku kebebasan untuk segera berbusana muslimah, tapi ternyata jawabannya sama.
Pendengar Nurani yang budiman
Hatiku sangat sedih sekali menyadari semua ini, mengapa begitu sulitnya mewujudkan sebuah niat yang baik, bathinku selalu bergumam, seharusnya mas bram merasa bahagia dan menanggapi positif atas niatku ini, tapi yang terjadi malah sebaliknya, mas bram seolah murka dengan apa yang aku lakukan, hingga suatu malam, pertengkaran hebatpun terjadi, aku yang tak bias lagi menerima sikap dan prilaku mas bram malam itu memberontak dengan segala galau dihatiku. “Mas bram, toloong beri aku kebebasan untuk berhijab mas, aku ingin seperti wanita-wanita muslimah yang lain, yang setiap saat mereka bias dengan bebasnya mengenakan busana muslimah tanpa ada interfensi dari siapapun, tapi mengapa mas begitu marahnya bila aku melakukan hal yang sama seperti mereka, aku hanya ingin auratku tidak terbuka seperti dulu mas, aku hanya ingin agar auratku hanya bias dilihat oleh mahromku saja.., mas bram..aku tidak sedang meminta dibelikan rumah mewah atau perhiasan mahal yang mungkin saja mas bram pantas marah dan murkah dengan semua itu,
aku hanya meminta izin pada mas untuk memakai busana muslimah yang syar’i..itu saja, tidak lebih mas..” ujarku memelas pada mas bram “ cukup astri..!, aku muak dengan ocehanmu itu..settiap hari itu-itu saja yang selalu kau ngocehin, apa gak ada permintaan lain..?, bagi aku, masih lebih baik kau meminta rumah mewah atau perhiasan yang mahal ketimbang permintaan yang konyol itu, kamu sadar nggak..?, atau kau pura-pura lupa, aku itu menikahimu karena kecantikanmu, dan aku ingin agar kau tidak mempermalukan aku dihadapan relasiku yang rata-rata istri-istri mereka berpenampilan wah, mau taru dimana mukaku astir bila ada undangan-undangan resmi nanti aku harus dating bersamamu dengan pakaian seperti itu, itu konyool astir..konyol, apa kata teman-temanku nanti bila melihatmu seperti itu..?, mereka pasti akan menertawakamu astir, dan mereka pasti akan mencomooh aku..kamu sadar gak..?, selama ini disetiap acara-acara besar kantor semua teman-temanku memuji kecantikanmu, bahkan istri-istri mereka sering merasa iri dengan pesona yang kau miliki astri, nah sekarang kalau kau berbusana muslimah hitam dan panjang begitu mau ditaruh dimana mukaku astri…” sela mas bram dengan wajah geram seolah ingin menelanku hidup-hidup. Saat itu air mataku mengalir deras dipipiku, aku tak menyangka sama sekali kalau selama ini mas bram hanya memanfaatkan aku seperti sebuah barang yang bias kapan saja dipajang kemudian dipuji oleh orang yang memandangnya, aku juga bahkan tak menyangka kalau selama ini mas bram ternyata hanya mencintaiku secara lahiria saja.
“mas bram…aku tidak menyangka mas.., aku tidak menyangka kalau selama ini mas hanya menganggap aku sebagai sebuah barang yang mas bias bawa kemana saja agar orang-orang bias leluasa menikmati kecantikanku dan mas mendapat hujanan pujian dari semua itu, aku ini manusia mas, aku ini istrimu..?, bila hari ini kau hanya mencintaiku karena wajahku yang kau pandang cantik, lalu bagaimana bila wajah ini akan mengerut karena usia mas..?, apa mas juga akan berpaling dariku..?, apakah mas juga akan meninggalkanku..?, mas insaf mas.., insaf.., aku ini istrimu mas..aku ini istrimu, tolong beri aku kebeasan untuk memilih jalan hidupku sendiri, aku hanya ingin menjadi muslimah sejati mas…” ujarku kembali sambil memelas.
“hahh..!!!, masa bodo astri..!, pokoknya aku tidak mau tahu, aku tetap tiudak mengizinkanmu menggunakan busana kampungan itu, titik, kalau kau masih membantahku, itu artinya kita tidak cocok lagi…!, dan kalau kita tidak cocok lagi itu artinya kita pisah..dan silahkan kau memilih jalan hidupmu sendiri, yang jelas aku tidak mau punya istri kampungan..” tutur mas bram memberiku pilihan, air mataku semakin tak terbendung, kutatap wajah bayiku yang terlelap tidur diatas ranjang, kasihan dia, dia masih kecil , tapi telinganya sudah harus mendengar pertengkaran ini.
“mas..apa kau serius dengan ucapanmu itu..?, segitu kotornyakah dalam pandanganmu muslimah yang bermusana seperti itu sehingga kau begitu marahnya bila aku mengenakannya dan menjadi seperti mereka..?, nyebut mas, ingat..jangan memperbesar-besar masalah ini mas, aku ini hanya meminta izin untuk mengenakan busana muslimah mas, kenapa mas seolah menganggap ini adalah masalah besar dan tidak bias ditolelir lagi..?, ingat mas..kita punya anak yang masih kecil, masih bayi mas.., bagaimana masa depannya bila ternuyata ibu-bapaknya harus berpisah…, mas, kita ini muslim, dan menutup aurat bagi wanita itu kewajiban mas, harus dan tidak bias ditolak dengan alas an apapun..!”ujarku sambil menangis deras
“oooww…jadi kau lebih memilih mengenakan busana itu dari pada menuruti perintahku?, begitu..?, eh astri..kau juga tidak boleh lupa taat pada suami itu juga wajib hukumnya..jangan kau abaikan itu..” jawab mas bram
“astagfirullah mas…aku tahu itu dan aku sangat sadar kewajibanku sebagai istri yang harus taat pada suami mas, tapi mas harus ingat bahwa tidak ada ketaatan apabila kita dipaksa untuk mendurhakai Allah..tidak ada ketaatan seperti itu mas…” ujarku lagi ditengah linangan air mataku yang semakin deras
“oww..ow..ow.., jadi kau ingin membantahku..?, begitu astri.., baik..!, kalau itu maumu, malam ini juga kau kutalak tiga astri..kau kucerai…!!!, kita pisah astri…kita pisah..!!!” sela mas bram dengan wajah merah padam dan pergi meninggalakan aku yang masih terus berlinang air mata dengan memaku disudut ranjang sambil mendekap anakku yang tertidur pulas…aku tidak menyangka kalau ternyata akhir perjalan rumah tanggaku seperti ini…begitu mahalkah harga dari sebuah hidayah hingga harus ditebus dengan perceraian seperti ini..?, ya Allah..kuatkan hatiku…tabahkan aku dalam menjalani semua ini, aku pasrahkan segalanya pada-Mu ya Allah, aku sendiri tidak tahu apakah langkahku ini salah, tapi bila itu salah ya Allah..ampuni aku dan suamiku..aku ihlas menerima semua ini..
Pendengar Nurani yang budiman
Hingga hari ini, aku telah hidup sendiri, aku kembali kerumah orang tuaku ditasikmalaya, aku berusaha membesarkan anakku dengan jerih payahku sendiri, aku memanfaatkan ketrampilan menjahitku dengan menerima orderan jahitan dari tetangga-tetangga, aku yakin Allah pasti akan menolongku. Ternyata benar..hidayah itu mahal.., sangat mahaall..untuk itu..aku menasehatkan pada diriku sendir i dan pada pendengar sekalian, bila kita telah memperoleh hidayah itu..jagalah dia..jangan biarkan hidayah itu pergi berlalu meninggalkan kita.
Wassalam
0 comments:
Post a Comment